Mengenang Kiai Hamid Pasuruan ;
Kisah KH.Abdul Hamid Pasuruan
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember;
Pesantren Kasingan, Rembang,Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim.
Pengabdian: pengasuhPesantren Salafiyah, Pasuruan
Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh
para santri, tapi juga olehkeluarga dan masyarakat serta umat islam
yang pernah mengenalnya.Sangat jarang ia marah, baik kepada santri
maupun kepada anak danistrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua,
khususnya setelah menikah,sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di
masa muda.
“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai
Hasan Abdillah. Kiai Hamidlahir di Sumber Girang, sebuah desa di
Lasem, Rembang, Jawa Tengah,pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga
dari tujuh belas bersaudara,lima di antaranya saudara seibu. Kini, di
antara ke 12 saudarakandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup,
yaitu Kiai Abdur Rahim,Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara
seibunya, tiga orang masihhidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan
Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri.
Ayahnya, Kiai umar, adaiahseorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah
anak Kiai Shiddiq, juga ulamadi Lasem dan meninggal di Jember, Jawa
Timur.
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz
Shiddiq, tokoh NU, dan KH. AhmadShiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga
Hamid memang memiliki keterikatanyang sangat kuat dengan dunia
pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranyayang lain, Hamid sejak kecil
dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anakkeempat itu mula-mula belajar
membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umursembilan tahun, ayahnya mulai
mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu
mulai pisah dari orangtua,untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya,
KH. Shiddiq, di Talangsari,Jember, Jawa Timur. Konon, demikian
penuturan Kiai Hasan Abdillah, KiaiHamid sangat disayang baik oleh
ayah maupun kakeknya. Semasih kecil,sudah tampak tanda-tanda bahwa ia
bakal menjadi wali dan ulama besar.
“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu
dengan Rasulullah,” katanya.Dalam kepercayaan yang berkembang di
kalangan warga NU, khususnya kaumsufi, Rasulullah walau telah wafat
sekali waktu menemui orang-orangtertentu, khususnya para wali. Bukan
dalam mimpi saja, tapi secaranyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam
legitimasi bagi kewalianseseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari
ayahnya dan para ulama diLasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai
berkelana. Mula-mula ia belajar dipesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di
Talangsari, Jember. Tiga tahunkemudian ia diajak kakeknya untuk pergi
haji yang pertama kali bersamakeluarga, paman-paman serta
bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindahke pesantren di Kasingan,
Rembang. Di desa itu dan desa-desasekitarnya, ia belajar fiqh, hadits,
tafsir dan lain lain. Pada usia 18tahun, ia pindah lagi ke Termas,
Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya
yang kini menggantikannyasebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H.
Idris, “Pesantren itu sudahcukup maju untuk ukuran zamannya, dengan
administrasi yang cukup rapi.Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu
telah melahirkan banyak ulamaterkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum,
mantan Ro’is Am NU.” MenurutIdris, inilah pesantren yang telah banyak
berperan dalam pembentukanbobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar
berbagai ilmu keislaman.Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di
Pasuruan, bersamaorangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak
pernah Padam. Dengantekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib
Ja’far, ulama besar diPasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan
sepupunya sendiri, Nyai H.Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan
ini dikarunia enam anak,satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga
orang yang masih hidup,yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan
berkeluarganya tidak denganmudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup
bersama mertuanya di rumahyang jauh dari mewah. Untuk menghidupi
keluarganya, tiap hari iamengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi,
sebagai blantik (broker)sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu
itu ada di desa Porong,Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya
Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan
Abdillah menuturkan, Nafisahyang dikawinkan orangtuanya selama dua
tahun tidak patut (tidak mauakur). Namun ia menghadapinya dengan
tabah. Kematian bayi pertama,Anas, telah mengantar mendung di rumah
keluarga muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang
begitu gundah, sehingga Hamidmerasa perlu mengajak istrinya itu ke
Bali, sebagai pelipur lara.Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan
yang amat sangat setelahbayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia
pula, padahal umurnya barubeberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak
itu membawanya bertamasya ketempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik
istri Kiai Hamid, menuturkan,seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid
pernah tidak disapa oleh istrinyaselama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar
keluhan darinya. Bahkan sedemikianrupa ia dapat menutupinya sehingga
tak ada orang lain yangmengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo
karo anak Utowo keluarga,ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau
tidak pernah mendapatcobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas
naik derajatnya)”,katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya
yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam
mendidik anak-anaknya. MenutIdris, tidak pernah mendapat marah,
apalagi pukulan dari ayahnya.Menurut ldris, ayahnya lebih banyak
memberikan pendidikan lewatketeladanan. Nasihat sangat jarang
diberikan. Akan tetapi, untukhal-hal yang sangat prinsip, shalat
misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk
bangun pada saat fajarmenyingsing, guna menunaikan shalat subuh,
meski seringkali orang lainyang disuruh membangunkan mereka, Hamid
juga memberi pengajaran membacaal-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di
masa kecil. Namun, begitumereka menginjak remaja, Hamid lebih suka
menyerahkan anak-anaknya kepesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga
istrinya, Hamid memberipengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang
diajarkan pun tidak pasti.Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan
dari bab satu ke babberikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot
kitab, lalu dibuka, dandiajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata
Idris, yang diajarkanadalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti
Bidayah al-Hidayah karyaImam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan
adalah amalan, dan bukanilmunya itu sendiri,” jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan
Kiai Hamid di Pesantrensalafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu
dikenal denganspesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu -
misainya alat(gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah
menonjol sebagaisuatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri
yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para
santrinya shalat berjamaah limawaktu. Sementara jadwal kegiatan
pesantren lebih banyak diisi dengankegiatan wirid yang hampir memenuhi
jam aktif. Semuanya harus diikutioleh seluruh santri. Kiai Hamid
sendiri, tidak banyak mengajar, kecualikepada santri-santri tertentu
yang dipilihnya sendiri. Selain itu,khususnya di masa-masa akhir
kehidupannya, ia hanya mengajar seminggusekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap
Ahad selalu penuh olehpengunjung untuk mengikuti pengajian selepas
salat subuh ini. Merekatidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga
kota-kota Malang, Jember,bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang
waktu itu. Yang diajarkanadalah kitab Bidayah al-Hidayah karya
al-Ghazali. Konon, dalam setiappengajian, ia hanya membaca beberapa
baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang
ulama-ulama masa lalu sebagaiteladan. Tak jarang, air matanya mengucur
deras ketika bercerita.Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok
ulama sufi, pengagum imamAl-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum
ad-Din dan Bidayahal-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah
yang menolak duniasama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak
diberi mobil Mercedez,tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan
perabotan-perabotannyacukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba
putih. Cara berpakaianmaupun penampilannya selalu terlihat rapi,
tidak kedodoran. Pilihanpakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang
berkualitas rendah.“Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di
sangka orang kaya.Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,”
katanya suatu kalikepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah
orang yang sukamengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu
berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid
berniat untuk mengekangnafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat).
Tetapi, istrinya tidak tahuitu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk
menyenangkannya, Hamidmemakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan
kulitnya saja. “O,rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya.
Esoknya ia membeli rotidalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan
kepada suaminyakulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan
penggemar kulit roti.Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku
bertirakat,” ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari
mobil Mercedez oleh H. AbdulHamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia
selalu menolaknya dengan halus.Dan untuk tidak membuatnya kecewa,
Hamid mengatakan, ia akanmenghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan
mobil itu. Kiai Hamid memangselalu berusaha untuk tidak mengecewakan
orang lain, suatu sikap yangterbentuk dari ajaran idkhalus surur
(menyenangkan orang lain) sepertidianjurkan Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa
sunnah, ia selalu dapatmenyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga
ia tidak merasa kecewa.Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di
manapun dan olehsiapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus
surur, sikap sosial Kiai Hamidterbentuk oleh suatu ajaran (yang
dipahami secara sederhana) mengenaikepedulian sosial islam terhadap
kaum dlu’afa yang diwujudkan dalambentuk pemberian sedekah. Memang
karikaturis - meminjam istilahAbdurrahman Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli
ekonomi yang berpikir secaralebih makro. Walau begitu, kita dapat
memperkirakan, sikap sosial KiaiHamid bukan hanya sekadar refleksi
dari motivasi keagamaan yang“egoistis”, dalam arti hanya untuk
mendapat pahala, dan kemudian merasalepas dari kewajiban. Kita mungkin
dapat melihat, betapa ajaran sosialislam itu sudah membentuk tanggung
jawab sosial dalam dirinya meskitidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial
mula-mula harus diterapkan kepadakeluarga terdekat, kemudian tetangga
paling dekat dan seterusnya.Urut-urutan prioritas demikian tampak pada
Kiai Hamid. Kepada tetanggaterdekat yang tidak mampu, konon ia juga
memberikan bantuannya secararutin, terutama bila mereka sedang
mempunyai hajat, apakah itu untukmengawinkan atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia
meninggal, bercerita bahwabila ada tetangga yang sedang punya hajat,
Kiai Hamid memberi uang RP.10.000 plus 10 kg. beras. Islam
mengajarkan, hari raya merupakan haridi mana umat Islam dianjurkan
bergembira sebagai rasa syukur setelahmenunaikan lbadah puasa sebulan
penuh. Menjelang hari raya, sebagailayaknya seorang ulama, Kiai Hamid
tidak menerima hadiah dan zakatfitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali
kepada handai tolan dantetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah
hadiah - berupa beras dansarung - untuk tetangga dekat setiap tahun
tergantung yang dipunyainyadari pemberian orang lain. Tapi yang pasti,
jumlahnya tak pernah kurangdari 313 buah. Ini adalah jumlah para
pengikut perang Badr (pecah dibulan Ramadhan antara Nabi dan orang
Kafir). Penelusuran lebih jauhakan menyimpulkan, perhatian terhadap
orang lain merupakan ciri darisikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari
sikap penuh perhatian yangtinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata
H. M. Hadi, bekas santri danadik iparnya, “Semua orang merasa paling
disayang oleh Kiai Hamid.”Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka
berjalan kaki berkeliling keMushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km.
untuk membangunkan orang-orang- biasanya anak-anak muda - yang tidur
di tempat-tempat ibadah itu. Disamping itu, beberapa rumah tak luput
dari perhatiannya sehinggamembuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi
mengetahui bahwa orang yangmengetuk pintu menjelang subuh itu adalah
Kiai Hamid yang sangatdiseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang
membuat semua orangmengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika
ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian
mendengarkan keluhan dan masalah oranglain, dan terkadang melalui
perlambang-perlambang, memberi pemecahanterhadapnya. Tak cuma itu. Ia
sering memaksa orang untuk berceritamengenai yang menjadi masalahnya.
“Ceritakan kepada saya apa yangmembuatmu gundah,” desaknya kepada H.
A. Shobih Ubaid, meski telahberkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa.
Dan, akhirnya setelahdibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan
menangis menceritakanmasalah keluarga yang selama ini mengganjal di
hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita
bahwa ia masih kekuranganuang menghadapi perkawinan anaknya, setelah
didesak oleh Kiai Hamid.Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000.
Pemberian uang untukmaksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia
lagi. Selain seringdihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang
telah naik hajiatas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang
telah berdiri ataudirenovasi atas prakarsa serta topangan biayanya.
Menurut H. Misykat,kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia
wafat. Ia memprakarsairenovasi terhadap beberapa mushalla di dekat
rumahnya yang selama initak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di
samping mengeluarkan uangdari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang
kepada masing-masingpanitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari
sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya
yang dicirikan dengankomitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial
dalam bentuknva yangsederhana dengan corak religius yang kuat
merupakan watakkepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang
tidakmenonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha
menyembunyikandiri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai
Hamid yangsuaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan
umum: Tapi disitulah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian
besar JawaTimur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak
kekuatan KiaiHamid.
Konon,
kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmudi
Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia
lahirdengan nama Mu’thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah
hajiyang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad
Qusyairi,memanggilnya dengan Hamid saja. “Nama saya memang Hamid saja,
Bah(Ayah),” katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya
itu.Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu
menyairkankitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah
kitab yangberisi akidah, syari’ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan
Thariqah beliauadalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang
mengatakanmengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein,
ada sumber lainmenyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.
http://anangqhosym.blogspot.com
Falsafahnya Pohon Kelapa
Orang mengenal
Kiai Hamid karena beliau dikenal sebagai seorang wali. Dan orang mengatakan
wali – biasanya – hanya karena keanehan seseorang. Tidak banyak
yang tahu tentang sejatinya beliau. Nah ! Dalam rangka memperingati haulnya
pada bulan Mei ini kami turunkan sekelumit tentang beliau.
Seperti halnya orang mengenal Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani sebagai sultanul auliya’, tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya Syekh Abdul Qodir adalah menguasai 12 disiplin ilmu. Beliau mengajar ilmu qiraah, tafsir, hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh, fiqh dll. Beliau sendiri berfatwa menurut madzhab Syafi’I dan Hanbali. Juga Sahabat Umar bin Khattab, orang hanya mengenal sebagai Khalifah kedua dan Panglima perang. Padahal beliau juga wali besar. Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri cukup dari mimbar Masjid di Madinah dan pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah minta tumbal manusia, hingga nurut sampai sekarang.
Kiai Abdul Hamid yang punya nama kecil Abdul Mu’thi lahir di Lasem Rambang Jawa Tengah tahun 1333 H bertepatan dengan tahun 1914 M. dari pasangan Kiai Abdullah bin Umar dengan Raihanah binti Kiai Shiddiq. Beliau yang biasa dipanggil Mbah Hamid ini adalah putra keempat dari 12 saudara.
Seperti umumnya anak cerdas, Hamid pada waktu kecil nakalnya luar biasa, sehingga dia yang waktu kecil dipanggil Dul ini panggilannya dipelesetkan menjadi Bedudul. Kenakalannya ini dibawa sampai menginjak usia remaja, dimana dia sering terlibat perkelahian dengan orang China yang pada waktu itu dipihak para penjajah. Pernah suatu saat dia ajengkel melihat lagak orang China yang sombong, kemudian orang China tersebut ditempeleng sampai klenger. Karena dia dicari-cari orang China kemudian oleh ayahnya dipondokkan ke Termas Pacitan. Sewaktu dia belajar di Termas sering bermain ke rumah kakeknya, Kiai Shiddiq di Jember dan kadang-kadang bertandang ke rumah pamannya Kiai Ahmad Qusyairi di Pasuruan. Sehingga, sebelum dia pindah ke Pasuruan, dia sudah tidak asing lagi bagi masyarakat disana.
Setelah di pesantren Termas dipercaya sebagai lurah, Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, enath apa yang diamalkannya. Sampai kawan-kawannya menggoda . Pintu kamarnya dikunci dari luar. Tapi, anehnya dia bisa keluar masuk.
Tawadlu’ dan Dermawan.
Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu’ (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat amaupun bercakap-cakap dengan tamu. Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah. “Angel dukane, gampang nyepurane”, kata Durrah, menantunya.
Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar mampir lagi kalau ada waktu.
Sikap tawadlu’ sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam; “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)”. Artinya janganlah menonjolakan diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.
Kiai Hamid yang wafat pada tahun 1982 juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Biasanya, kebanyakan orang kalau memberi pengemis dengan uang recehan Rp. 100,-. Tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau kalau memberi tidak melihat berapa uang yang dipegangnya, langsung diserahkan. Kalau tangannya kebetulan memegang uang lima ribuan, ya uang itu yang diserahkan kepada pengemis. Tak hanya bentuk uang, tapi juga barang. Dua kali setahun beliau selalu membagi sarung kepada masing-masing anggota keluarga.
Orang Alim
Biasanya orang yang terkenal dengan kewaliannya hanya dipandang dari kenyentrikannya saja. Tapi tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau dipandang orang bukan hanya dari kenylenehannya, tapi dari segi keilmuannya, beliau juga sangat dikagumi banyak kiai. Karena, memang sejak dari pesantren beliau sudah terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu kanoragan, ketabiban, fiqih, sampai ilmu Arudl beliau sangat menguasai. Terbukti beliau juga menyusun syi’iran.
Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala’ dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya’.
Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah. Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. “Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil” katanya menasehati sang guru. “Sudah menjadi sunnatullah,” katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa. Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.
Ijazah-ijazah
Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah:
Seperti halnya orang mengenal Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani sebagai sultanul auliya’, tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya Syekh Abdul Qodir adalah menguasai 12 disiplin ilmu. Beliau mengajar ilmu qiraah, tafsir, hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh, fiqh dll. Beliau sendiri berfatwa menurut madzhab Syafi’I dan Hanbali. Juga Sahabat Umar bin Khattab, orang hanya mengenal sebagai Khalifah kedua dan Panglima perang. Padahal beliau juga wali besar. Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar negeri cukup dari mimbar Masjid di Madinah dan pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir yang banyak tingkah minta tumbal manusia, hingga nurut sampai sekarang.
Kiai Abdul Hamid yang punya nama kecil Abdul Mu’thi lahir di Lasem Rambang Jawa Tengah tahun 1333 H bertepatan dengan tahun 1914 M. dari pasangan Kiai Abdullah bin Umar dengan Raihanah binti Kiai Shiddiq. Beliau yang biasa dipanggil Mbah Hamid ini adalah putra keempat dari 12 saudara.
Seperti umumnya anak cerdas, Hamid pada waktu kecil nakalnya luar biasa, sehingga dia yang waktu kecil dipanggil Dul ini panggilannya dipelesetkan menjadi Bedudul. Kenakalannya ini dibawa sampai menginjak usia remaja, dimana dia sering terlibat perkelahian dengan orang China yang pada waktu itu dipihak para penjajah. Pernah suatu saat dia ajengkel melihat lagak orang China yang sombong, kemudian orang China tersebut ditempeleng sampai klenger. Karena dia dicari-cari orang China kemudian oleh ayahnya dipondokkan ke Termas Pacitan. Sewaktu dia belajar di Termas sering bermain ke rumah kakeknya, Kiai Shiddiq di Jember dan kadang-kadang bertandang ke rumah pamannya Kiai Ahmad Qusyairi di Pasuruan. Sehingga, sebelum dia pindah ke Pasuruan, dia sudah tidak asing lagi bagi masyarakat disana.
Setelah di pesantren Termas dipercaya sebagai lurah, Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, enath apa yang diamalkannya. Sampai kawan-kawannya menggoda . Pintu kamarnya dikunci dari luar. Tapi, anehnya dia bisa keluar masuk.
Tawadlu’ dan Dermawan.
Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu’ (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat amaupun bercakap-cakap dengan tamu. Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah. “Angel dukane, gampang nyepurane”, kata Durrah, menantunya.
Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar mampir lagi kalau ada waktu.
Sikap tawadlu’ sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam; “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)”. Artinya janganlah menonjolakan diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.
Kiai Hamid yang wafat pada tahun 1982 juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Biasanya, kebanyakan orang kalau memberi pengemis dengan uang recehan Rp. 100,-. Tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau kalau memberi tidak melihat berapa uang yang dipegangnya, langsung diserahkan. Kalau tangannya kebetulan memegang uang lima ribuan, ya uang itu yang diserahkan kepada pengemis. Tak hanya bentuk uang, tapi juga barang. Dua kali setahun beliau selalu membagi sarung kepada masing-masing anggota keluarga.
Orang Alim
Biasanya orang yang terkenal dengan kewaliannya hanya dipandang dari kenyentrikannya saja. Tapi tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau dipandang orang bukan hanya dari kenylenehannya, tapi dari segi keilmuannya, beliau juga sangat dikagumi banyak kiai. Karena, memang sejak dari pesantren beliau sudah terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu kanoragan, ketabiban, fiqih, sampai ilmu Arudl beliau sangat menguasai. Terbukti beliau juga menyusun syi’iran.
Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala’ dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya’.
Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah. Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. “Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil” katanya menasehati sang guru. “Sudah menjadi sunnatullah,” katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa. Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.
Ijazah-ijazah
Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah:
- Membaca Surat Al-Fatihah 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya’ 10 kali.
- Membaca Hasbunallah wa ni’mal wakil sebanyak 450 kali sehari semalam.
- Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan Munjiyat.
- Membaca kitab Dala’ilul Khairat. Kitab ini berisi kumpulan shalawat.
MUDAH2AN BISA MENELADANI BELIAU
ReplyDelete