Rasulullah tidak memiliki anak lelaki yang berusia panjang --mereka wafat saat masih kecil. Abu Bakar dan Umar memiliki anak lelaki, tapi mereka tidak pernah menunjuk anak mereka untuk menggantikan posisi mereka sebagai khalifah. Tradisi itu diubah oleh Khalifah Muawiyah, yang menjadikan anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota (waliyul 'ahdi). Maka berakhirlah era khilafah, berganti dengan dinasti. Sejarah Islam kemudian meninggalkan cerita perebutan kekuasaan dalam internal kerajaan ataupun perpindahan dari satu dinasti ke dinasti berikutnya.
Demokrasi kemudian hadir menyediakan tata cara pergantian kekuasaan
yang berbeda: kekuasaan bukan milik keluarga tertentu yg diperlakukan
seolah sebagai harta warisan, tapi kekuasaan adalah milik rakyat.
Rakyatlah yang berhak mengangkat dan sekaligus mengganti pemimpinnya.
Semua dipandang sama: berhak dipilih dan memilih, maka suara seorang
guru besar sama nilainya dengan suara tukang ojek. Lamanya kekuasaan
juga dibatasi. Tidak ada pemimpin seumur hidup.
Namun sistem kerajaan dengan putra mahkota tidak semuanya hilang. Di Inggris, Ratu berkuasa seumur hidup, dan Pangeran Charles sang putra mahkota harus menunggu gilirannya. Tapi Inggris juga menganut demokrasi, dimana Perdana Menteri yang dipilih secara demokratis, akan menjalankan kekuasaan pemerintahan sehari-hari. Ratu menjadi kepala negara secara simbolis belaka. Ini cara mereka memegang tradisi lama dalam kerajaan, tapi juga mengambil tradisi baru demokrasi yang lebih relevan.
Di dunia Arab sistem kerajaan masih berlangsung. Raja Saudi Arabia baru saja mengganti putra mahkota. Turun temurun kerajaan Saudi diwarisi oleh Bani Saud. Jangan tanya dalilnya mana, karena tidak akan ketemu dan hanya akan dijawab dengan berbagai dalih. Mereka bukan mengikuti tradisi khulafa al-rasyidin, tapi tradisi Muawiyah.
Bagaimana dengan di tanah air? Di sejumlah daerah politik dinasti masih terjadi. Satu keluarga menguasai roda pemerintahan dari Gubernur sampai Bupati atau Walikota. Ada pula kejadian dimana isteri, adik atau anak penguasa yang terpilih menggantikannya. Ada pula tukar guling, anak jadi bupati, dan bapaknya yang mantan bupati jadi ketua DPRD. Tapi gimana mau protes? Semuanya terpilih secara demokratis bukan lewat penunjukkan. Kita boleh bertanya: kenapa rakyat mau memilih seperti itu? smile emotikon
Di Jogjakarta sekarang sedang heboh, Sang Raja konon sedang berusaha menjadikan anak perempuannya sebagai calon penggantinya. Putri Mahkota. Karena melalui sistem penunjukkan, dan dianggap keluar dari tradisi, maka adik-adik Sang Raja protes keras. Mungkin kita harus kembali kepada konsep syura yang ditawarkan al-Qur'an: bermusyawarahlah sebelum mengambil keputusan.
Kekuasaan itu sebuah amanah. Bukan sekedar sok kuasa. Siapa yang melanggar amanah akan berhadapan kelak dengan Sang Raja di Hari Pembalasan.
[ Prof. Nadirsyah Hosen, PCINU Australia ]
Namun sistem kerajaan dengan putra mahkota tidak semuanya hilang. Di Inggris, Ratu berkuasa seumur hidup, dan Pangeran Charles sang putra mahkota harus menunggu gilirannya. Tapi Inggris juga menganut demokrasi, dimana Perdana Menteri yang dipilih secara demokratis, akan menjalankan kekuasaan pemerintahan sehari-hari. Ratu menjadi kepala negara secara simbolis belaka. Ini cara mereka memegang tradisi lama dalam kerajaan, tapi juga mengambil tradisi baru demokrasi yang lebih relevan.
Di dunia Arab sistem kerajaan masih berlangsung. Raja Saudi Arabia baru saja mengganti putra mahkota. Turun temurun kerajaan Saudi diwarisi oleh Bani Saud. Jangan tanya dalilnya mana, karena tidak akan ketemu dan hanya akan dijawab dengan berbagai dalih. Mereka bukan mengikuti tradisi khulafa al-rasyidin, tapi tradisi Muawiyah.
Bagaimana dengan di tanah air? Di sejumlah daerah politik dinasti masih terjadi. Satu keluarga menguasai roda pemerintahan dari Gubernur sampai Bupati atau Walikota. Ada pula kejadian dimana isteri, adik atau anak penguasa yang terpilih menggantikannya. Ada pula tukar guling, anak jadi bupati, dan bapaknya yang mantan bupati jadi ketua DPRD. Tapi gimana mau protes? Semuanya terpilih secara demokratis bukan lewat penunjukkan. Kita boleh bertanya: kenapa rakyat mau memilih seperti itu? smile emotikon
Di Jogjakarta sekarang sedang heboh, Sang Raja konon sedang berusaha menjadikan anak perempuannya sebagai calon penggantinya. Putri Mahkota. Karena melalui sistem penunjukkan, dan dianggap keluar dari tradisi, maka adik-adik Sang Raja protes keras. Mungkin kita harus kembali kepada konsep syura yang ditawarkan al-Qur'an: bermusyawarahlah sebelum mengambil keputusan.
Kekuasaan itu sebuah amanah. Bukan sekedar sok kuasa. Siapa yang melanggar amanah akan berhadapan kelak dengan Sang Raja di Hari Pembalasan.
[ Prof. Nadirsyah Hosen, PCINU Australia ]
No comments:
Post a Comment