Peristiwa sejarah yang menandai hari raya
'Iedul Adl-ha adalah tugas berat yang dibebankan Allah swt. kepada Nabi Ibrahim
as. agar beliau menyembelih puteranya, Nabi Isma'il as.
Dalam surat اَلصَّفَّاتْ ayat 100 - 106, Allah
swt. berfirman:
رَبِّ هَبْ لِىْ مِنَ
الصَّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ
السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ اِنِّى اَرَى فِى الْمَنَامِ اَنِّى اَذْبَحُكَ
فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى، قَالَ يَآ اَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى اِنْ
شَآءَ اللّهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ. فَلَمَّا اَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ
وَنَادَيْنَاهُ اَنْ يَآ اِبْرَاهِيْمُ، قَدْ صّدَّقْتَ الرُّؤْيَا اِنَّا كَذلِكَ
نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ. اِنَّ هذَا لَهُوَ الْبَلآءُ الْمُبِيْنُ.
"Ya Tuhanku,
anugerahilah aku anak yang saleh. Kemudian Kami berikan kabar gembira kepadanya
dengan seorang anak yang penyantun. Setelah anak itu dapat melakukan usaha
bersamanya, Ibrahim berkata kepadanya, "Wahai anakku, sesungguhnya aku
bermimpi dalam tidurku bahwa aku menyembelih engkau. Maka pertimbangkanlah
bagaimana pendapatmu?" Sang anak menjawab, "Wahai ayahku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan itu. Niscaya ayah akan mengetahui bahwa diriku termasuk
orang-orang yang sabar, insya Allah". Maka ketika keduanya telah mematuhi
perintah Allah dan pipi sang anak sudah ditempelkan di atas tanah, maka Kami
berseru kepadanya: "Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah mematuhi
perintah berdasarkan mimpi itu!" Dan sesungguhnya dengan cara seperti
itulah Kami membalas orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya peristiwa ini
adalah suatu ujian yang nyata!"
Untuk menangkap hikmah-hikmah dari peristiwa
Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as. tersebut, kita dapat menelusurinya dari
beberapa segi, yaitu:
§ Pertama: Dari segi jenis perintah
§ Kedua: Dari segi yang diperintah
§ Ketiga: Dari segi materi perintah
Mengenai jenis perintah
Dapat kita ketahui bahwa perintah yang
dibebankan oleh Allah swt. kepada Nabi Ibrahim as. sangat irasional atau sangat
tidak masuk akal. Betapa tidak, orang disuruh menyembelih puteranya sendiri.
Kalau kita mencoba menganalisanya secara rasional atau secara akal pikiran,
kemungkinan kesimpulan kita akan meleset dari kebenaran. Bahkan kita akan
menuduh bahwa ayat tersebut tidak masuk akal, sehingga kebenarannya perlu
dipertimbang kan dan ditinjau kembali.
Kesimpulan dari analisa kita tidak akan
meleset, jika sebelumnya kita sudah menyetujui dan meyakini bahwa tidak
selamanya perintah-perintah Allah itu harus rasional atau dapat masuk akal.
Atau dengan lingkup pembahasan yang lebih luas, tidak selamanya aturan-aturan
yang terdapat dalam agama Islam itu sesuai dengan akal fikiran. Banyak
aturan-aturan ritual atau peribadatan dalam agama Islam yang tidak masuk akal,
yang oleh para ulama disebut ta'abbudiy, atau ibadahmahdlah atau
ibadah murni, yaitu hal-hal yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Penciptanya (Khaliqnya).
Sedang peraturan-peraturan yang bertalian
dengan masalah sosial yang disebut dengan "ibadah ghairu mahdlah"
atau ibadah yang tidak murni atau ibadah sosial adalah bersifat rasional atau
sesuai dengan akal fikiran. Oleh karena itu akan meleset hasilnya, jika ibadah
mahdlah seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya,
Nabi Isma'il di atas dianalisa dengan pendekatan rasional.
Kini timbul pertanyaan, yaitu:
Kalau
seluruh firman Allah itu tidak ada yang sunyi dan sepi dari faedah, maka apakah
faedahnya Allah memerintahkan makhluk-Nya dengan perintah yang tidak masuk akal
dan tidak dapat difahami oleh makhluk itu sendiri?
Di sinilah Allah mengakhiri kisah tersebut
dengan berfirman:
إِنَّ هذَا لّهُوَ
الْبَلآءُ الْمُبِيْنُ
Sesungguhnya hal ini
adalah merupakan ujian yang nyata
Yaitu ujian kepada Nabi Ibrahim dan Nabi
Isma'il as., sampai di mana keduanya mau melaksanakan perintah Allah, meskipun
perintah tersebut tidak dapat dipahami maksudnya.
Mengenai segi yang diperintah:
Apabila perintah Allah tersebut adalah
merupakan batu ujian terhadap Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as., maka
pertanyaan yang mungkin timbul adalah:
§ Untuk apa Allah masih juga menguji Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il
as.?
§ Bukankah kedua Nabi tersebut orang-orang yang telah dipilih oleh
Allah sendiri?
§ Apakah keduanya mungkin lulus atau gagal dalam menghadapi ujian
tersebut?
§ Jawabnya ialah bahwa tentu kedua Nabi tersebut pasti lulus dalam
menghadapi ujian, karena keduanya adalah orang-orang yang sudah dipilih oleh
Allah!
§ Akan tetapi untuk apa kedua Nabi tersebut masih diuji?
Di sinilah kita dapat menangkap hikmah yang
agung dalam peristiwa tersebut. Kalau nabi pilihan Allah itu masih juga
mendapat ujian hidup, maka kita sebagai makhluk biasa yang bukan pilihan ini,
tentu lebih layak untuk mendapatkan ujian-ujian dari Allah. Allah swt mungkin
menguji makhluk-Nya dengan ujian yang pahit atau ujian yang manis, sebagaimana
firman Allah swt. dalam surat Al Mulk ayat 2 yang berbunyi:
اَلَّذِى خَلَقَ
الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلاً ... الآية
Allah yang menjadikan
mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya...
Dalam menghadapi ujian-ujian ini, kita
sendirilah yang akan menjawabnya, apakah akan lulus atau gagal dalam menghadapi
ujian-ujian dari Allah swt. Yang jelas, semakin teguh seseorang mengikuti
ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya, semakin banyak kemungkinan ia sukses dalam
menghadapi ujian. Dan semakin jauh seseorang dari ajaran-ajaran agama, semakin
tipis pula kemungkina untuk dapat sukses dalam menghadapi ujian dari Allah swt.
Perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh,
bahwa manusia itu semakin ta'at kepada perintah Allah swt., akan semakin pedih
dan berat ujiannya; dan semakin dekat seseorang kepada Allah swt., akan semakin
besar pula ujian yang ditimpakan Allah kepadanya. Pernah Nabi Besar Muhammad
saw. ditanya oleh sahabat Sa'ad bin Abi Waqqash tentang orang yang paling pedih
dan berat ujiannya di dunia ini, beliau menjawab:
اَلأَنْبِيَآءُ ثُمَّ
الاَمْثَلُ فَالاَمْثَلُ
Para nabi, kemudian
orang-orang yang seperti nabi, lalu orang-orang yang seperti mereka
Oleh karena itu, tidaklah layak bagi seseorang
untuk mengharapkan karunia dari Allah swt., sebelum dia tahan dan lulus dari
ujian-ujian hidup yang ditimpakan kepadanya.
Ketika ada sekelompok orang yang datang kepada
Nabi dan menyatakan sebagai orang-orang mukmin, kemudian datang menimpa mereka
ujian dari Allah swt., yaitu mereka dihadang oleh orang-orang kafir yang ingin
membunuh mereka, sehingga mereka merasa kesal, sebab mereka sudah merasa
sebagai orang-orang yang beriman, mengapa pula masih mendapat ujian hidup. Maka
turunlah firman Allah:
الم. اَحسِبَ النَّاسُ
اَنْ يُتْرَكُوْا اَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُوْنَ. وَلَقَدْ
فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللّهُ الّذِيْنَ صَدَقُوْا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِيْنَ ( العنكبوت : 1-3 )
Alif, Laam, Miim. Apakah
manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: "Kami
sudah beriman" tanpa mendapat cobaan? Sesungguhnya Kami telah mencoba
(menguji) orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui, mana orang-orang
yang benar-benar beriman dan mana orang-orang yang dusta.
Mengenai segi materi perintah
Dalam peristiwa Nabi Ibrahim as. adalah benda
yang harus dikorbankan yang berupa putera kesayangan beliau. Banyak ayat Al
Qur'an yang menyebutkan kata "anak" bersama dengan kata "harta
benda", karena keduanya memang merupakan lambang keduniaan. Dalam surat Al
kahfi ayat 46 Allah swt. ber firman:
الْمَالُ وَالْبَنُوْنَ
زِيْنَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ
رَبِّكَ ثَوَبًا وَخَيْرٌ اَمَلاً.
Harta benda dan anak-anak
adalah perhiasan hidup di dunia; dan amal-amal yang kekal lagi baik, lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk dicita-citakan.
Disamping itu, harta benda dan anak-anak juga
merupakan lambang kesenangan di dunia yang sangat digandrungi oleh setiap
orang.
Padahal pada hakekatnya, harta benda dan
anak-anak itu adalah alat yang dipergunakan oleh Allah swt. untuk menguji dan
mencoba manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 28:
إِعْلَمُوْا اَنَّمَا
اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ، وَاَنَّ اللّهَ عِنْدَهُ اَجْرٌ
عَظِيْمٌ.
Ketahuilah, bahwa harta
benda dan anak-anakmu adalah merupakan ujian bagi kamu. Sedangkan sesungguhnya
di sisi Allah ada pahala yang besar.
Karena setiap orang cenderung untuk menuruti
apa saja dan siapa saja yang disenangi, maka perintah Allah kepada Nabi Ibrahim
as. untuk menyembelih puteranya adalah memberi peringatan kepada setiap orang,
bahwa untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, setiap orang dituntut untuk
berani mengorbankan, memenggal dan memotong kesenangan dan kegandrungan hatinya
terhadap hal-hal yang merupakan simbol-simbol duniawi. Sebab selagi seseorang
manusia masih menggandrungi hal-hal tersebut, maka selama itu pula dia akan
diperbudak olehnya. Dan akan lebih parah lagi akibatnya, jika dia berani mencoba
melakukan apa saja tanpa mengenal batas-batas dan ketentuan-ketentuan agama,
demi menuruti kesenangan dan kegandrungan hatinya. Di sinilah sebenarnya titik
awal dan permulaan kebinasaan dan kehancuran manusia, sebagaimana sabda Nabi
Besar Muhammad saw.:
حُبُّ الدُّنْيَا
رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
Menggandrungi dunia
adalah pangkal segala kejahatan.
Bukankah segala macam bentuk kejahatan di
dunia ini, seperti penipuan, korupsi, suap atau rasywah atau
kolusi, pencurian, perampokan, pembunuhan, pemberontakan, dan lain sebagainya
adalah berpangkal dari keinginan manusia untuk menuruti kesenangan hatinya
terhadap hal-hal yang bersifat duniawi? Oleh karena itu kita diperintah untuk
berani mematahkan dan mengorbankan sebagian dari kesenagan hati kita, untuk
dapat mencapai peringkat manusia yang baik, sebagaimana firman Allah swt. dalam
surat Ali Imran ayat 92
لَنْ تَنَالُوْا
الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ
Kamu sekalian tidak akan
pernah mencapai kebaikan, sehingga kamu berani mendermakan sebagian dari harta
yang kamu cintai.
Memberikan sesuatu barang yang tidak disukai
kepada orang lain, dapat dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi memberikan
barang yang sedang dan masih disukai atau disenangi kepada orang lain, hanya
dapat dilakukan oleh orang yang baik saja. Oleh karena itu, untuk menguji
sampai di mana rasa sayang kita kepada harta benda, dalam kesempatan 'Iedul
Adl-ha ini Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سِعَةٌ
فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصّلاَّنَا
Barangsiapa yang
mempunyai kecukupan dan tidak mau menyembelih binatang qurban, maka dia tidak
usah shalat 'Ied bersama saya.
Kini tinggal kita sendiri yang mampu
memberikan jawaban, apakah kita sudah mampu mengalahkan kesenangan-kesenangan
hawa nafsu kita, ataukah kita masih diperbudak olehnya.
Untuk menuju kesempurnaan hidup, manusia harus
mampu memahami keberadaannya di dunia ini, dan sekaligus mengetahui fungsi dan
kegunaan segala hal yang bersifat duniawi.
Mengenai keberadaan manusia di dunia,
dilukiskan oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang berteduh sebentar di bawah
pohon yang kemudian pergi lagi; atau seperti orang yang menyeberang jalan. Jadi
kehidupan di dunia ini bukanlah suatu tujuan, melainkan sekedar keharusan yang
mesti dilalui dan bersifat sangat sementara. Sedang dunia itu sendiri,
dilukiskan oleh Rasulullah saw. sebagai air yang menem pel di telunjuk jari
yang baru dicelupkan ke dalam lautan. Air yang menempel di telunjuk jari
dibanding air lautan, tak ubahnya seperti dunia dibanding akhirat. Namun
demikian, tidak sedikit orang yang silau melihat dunia dan memandang sepele
kepada akhirat.
Masalahnya, karena manusia lebih cepat
terpikat kepada apa saja yang segera dapat dirasakan, yaitu dunia dan isinya.
Sedang manusia kurang tertarik kepada kehidupan akhirat, karena tidak segera
dapat dinikmati. Padahal kepuasan menikmati kehidupan dunia ini hanyalah
bersifat sementara dan semu; sedang kepuasan menikmati kehidupan akhirat nanti
adalah abadi dan hakiki. Namun manusia ditakdirkan oleh Allah swt. hanya mampu
merasakan hal-hal yang berada di lingkungannya saja tanpa dapat merasakan
hal-hal yang jauh dari dirinya.
Dalam surat Al Hadid ayat 20, Allah swt.
menggambarkan kehidupan dunia dan akhirat sebagai berikut:
إِعْلَمٌوْا اَنَّمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِيْنَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ
وَتَكَـــــــاثُرٌ فِى الاَمْوَالِ وَالاَوْلاَدِ، كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَتُهُ
ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا، وَفِى الآخِرَةِ
عَذَابٌ شَدِيْــدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللّهِ وَرِضْوَانٌ، وَمَا الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ.
Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya kehidup di dunia ini hanyalah permainan, iseng-iseng, perhiasan
dan saling merasa hebat di antara kamu, serta persaingan dalam berbanyak harta
dan anak. Tak ubahnya seperti air hujan yang menyiram tanaman yang
pertumbuhannya dikagumi oleh orang-orang yang menanamnya.Tanaman itu lalu
kering, dan kemudian kamu lihat tanaman itu menguning dan hancur. Sedang di
akhirat terdapat siksa yang pedih (bagi orang-orang yang kafir) serta ampunan
dan keridlaan Allah (bagi orang-orang yang mu'min). Dan kehidupan dunia tidak
lebih dari kesenangan yang menipu.
Sebagai orang mu'min yang sudah mempunyai
pegangan Al Qur'an, seyogyanya kita tidak tertipu oleh kehidupan di dunia.
Bahkan sebaliknya, kehidupan dunia ini harus kita upayakan dengan
sungguh-sungguh agar dapat menjadi faktor penentu dalam memperoleh kehi dupan
akhirat yang abadi.
Islam tidak membenci harta benda; tetapi Islam
membenci orang yang menjadikan dirinya menjadi budak harta benda.
Islam tidak membenci kekayaan; tetapi Islam
mengutuk orang yang memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak halal dan
menggunakan kekayaan tersebut untuk masalah-masalah yang tidak halal.
Pola hidup zuhud (sederhana) yang dicontohkan
oleh Rasulullah saw. tidaklah identik dengan hidup sengsara, karena
permasalahannya menyangkut moralitas dan tanggapan seseorang terhadap dunia
ini. Tidak jarang orang miskin yang gandrung dengan kehidupan duniawi, dan
tidak sedikit pula orang kaya yang lebih mementingkan kehidupan akhirat.
Seseorang manusia baru mencapai kesempurnaan hidup, apabila dia telah mampu
memberikan penilaian bahwa kehidupan ukhrawi itu lebih baik dari pada kehidupan
duniawi.
Dalam surat Adl Dluha ayat 4 Allah swt.
berfirman:
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ
مِنَ الاُوْلَى
Kehidupan ukhrawi itu
lebih baik bagimu dari pada kehidupan duniawi
Untuk dapat memberikan penilaian yang tepat
mengenai arti dunia dan arti akhirat, seseorang terlebih dahulu harus memahami
arti keberadaannya di dunia ini dan tentang fungsi dari dunia itu sendiri.
Pekerjaan ini memang berat, karena merupakan upaya untuk mencari identitas
manusia di dunia ini, apalagi jika pekerjaan ini hanya didukung oleh akal
fikiran yang sangat terbatas kemampuannya.
Jadi, peristiwa Nabi Ibrahim as. yang kita
peringati setiap hari raya adl-ha, adalah mengandung pelajaran yang luhur, yang
menuntut setiap orang agar mau melumpuhkan kegandrungannya kepada segala hal
yang bersifat duniawi. Dan dengan demikian dia akan menjadi insan kamil
(manusia sempurna) karena sudah dapat melepaskan dirinya dari belenggu
perbudakan yang dilakukan oleh hawa nafsu. Sedangkan hal ini akan membawa
dampak moralitas, dimana manusia tidak lagi rakus dan kejam terhadap sesama
manusia dalam mengejar kebahagiaan semu yang sementara; karena dia akan
menggunakan segala yang dimilikinya sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan
akhirat yang hakiki dan abadi.
OLEH KH
MASDUQI M
Sumber: http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/artikel/nasihat_kyai/amm-06dec30.single?seemore=y
No comments:
Post a Comment