Secara etimologi, qurban berasal dari kata qaruba yang berarti kedekatan. Secara terminologi adalah upaya pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya dengan media penyembelihan ternak. Secara syar’iyah, binatang ternak yang dipaparkan hadits berupa domba, sapi dan unta. Sehingga hari itu dinamakan hari nahr (hari penyembelihan hewan), atau lebih populer dinamakan hari raya Adha (hari raya penyembelihan). Definisi seperti ini dipertajam dengan pernyataan Nabi yang mengatakan, “Dinamakan hari raya Fitri, karena setiap umat futur (makan), dan dinamakan Adha karena umat diharapkan menyembelih binatang qurban. Dengan demikian tidaklah dinamakan qurban apabila tidak ditandai dengan penyembelihan ternak dan pada kedua hari ini umat dilarang untuk berpuasa.”
Munculnya reinterpretasi qurban dengan memalingkan substansi (penyembelihan ternak qurban)
tentunya tidak sinergi dengan pendefinisian qurban itu sendiri. Adapun secara teknis, dimana daging qurban dikemas sedemikian rupa sehingga muncul inisiatif rekayasa untuk pengalengan agar lebih berdaya guna dan lebih lama pemanfaatannya, tentu tidak berseberangan dengan isyarat hadits bahwa penyembelihan yang dimaksud bukan murni untuk dikonsumsi saat itu, namun ada peluang untuk juga dijadikan simpanan.
Ada kerancuan dalam membahas ibadah penyembelihan ternak karena pengertian qurban di berbagai referensi fikih sering tidak dibedakan. Padahal ibadah penyembelihan ternak dalam perspektif hadits setidaknya ada 4 macam:
- Hadyu: penyembelihan terkait dengan sukses pelaksanakan ibadah haji.
- Dam: penyembelihan terkait dengan sanksi pelanggaran manasik haji.
- Aqiqah: penyembelihan terkait dengan tasyakuran kelahiran anak.
- Udhiyah: penyembelihan terkait dengan merayakan hari raya Idul Adha.
Sebagai contoh, tempat penyembelihan hadyu dan dam telah ditemukan tuntunan khusus. Yakni ketika jamaah haji masih berada di manhar (tempat penyembelihan qurban) di tanah suci. Maka tidak mungkin keduanya (hadyu dan dam) disembelih di tanah air Indonesia hanya karena pemikiran mungkin lebih manfaat atau lebih efisien dan sebagainya. Hal itu berbeda dengan udhiyah yang boleh disembelih dimana pun keberadaan kita.
Pada kasus hadyu dibebankan pada setiap individu, maka tujuh person orang yang berhaji, setiap individu terbeban penyembelihan seekor domba, dan mereka boleh berkongsi untuk hanya menyembelih seekor unta atau sapi. Hal ini berbeda dengan udhiyah, yang dibebankan kepada keluarga, bukan individu. Namun, kalau ada yang melakukan secara individu boleh-boleh saja. Apabila konsep keluarga dimaknai ‘keluarga besar’ YDSF misalnya, maka diperbolehkan setiap anggota urunan untuk ramai-ramai berhari raya bersama umat.
Untuk aspek pendistribusiannya pun jauh berbeda. Kalau hadyu dipertuntukkan al-qani’ wa al-mu’tar (orang miskin yang meminta dan tidak meminta-minta). Namun tidak sedemikian dalam pendistribusian udhiyah. Selain fakir miskin, orang kaya juga boleh untuk ikut merasakan kebersamaan dengan segenap umat untuk menikmati udhiyah.
Apabila kita jeli dapat membedakan berbagai nama penyembelihan ternak di atas, maka kita dapat memahami hadits yang menerangkan tidak boleh menjual kulit, mencukur bulu dan sebagainya. Apakah hadits ini dipergunakan dalam konteks hadyu atau dalam konteks udhiyah? Dari sya’nul wurud (konteks disabdakannya sebuah hadits) seorang alim dapat memahami konteks hadits larangan di atas adalah hadyu, bukan udhiyah. Hadits tersebut dinarasikan Ali ibn Abu Thalib ra sebagai amirul hajj (pemimpin rombongan haji) dari wilayah Yaman.
Kepada Ali, Rasulullah saw. memerintahkan untuk menyembelih hadyu dari rombongannya. Pesan Nabi saw. bukan hanya tidak boleh menjual kulitnya, dan tidak mencukur bulunya, namun juga diperintahkan untuk menyedekahkan pelananya, pakaian yang dikenakan pada binatang hadyu dan semua yang melekat pada binatang tersebut.
Penulis yakin artikel ini dapat dijadikan langkah awal untuk mendiskusikan lebih detil hal-hal yang terkait dengan penyembelihan qurban. Misalnya, sembilan kambing udhiyah dijual untuk dirupakan seekor sapi. Udhiyah disembelih bersama, dimasak bersama dan sisanya dibawa pulang masing-masing. Kulit udhiyah bisa dijual untuk dibelikan kambing lagi atau urunan untuk membeli hewan qurban dan sebagainya. Semoga dapat didiskusikan lebih lanjut.{}
No comments:
Post a Comment