Tafsir Surat Al-Shaffat Ayat 99-111
Supriyanto Pasir. S.Ag., M.Ag
Surat al-Shaffat ayat 99 sampai ayat 111
ini berbicara tentang ketaatan dan kesungguhan mendekatkan diri Nabi
Ibrahim a.s. dan Isma’il a.s. kepada perintah Allah SWT. Dan sekaligus
juga berbicara tentang kesabaran mereka dalam menghadapi ujian Allah SWT
karena sesungguhnya ketaatan tidak akan mewujud tanpa adanya kesabaran
dalam diri. Sebagian peristiwa itu selanjutnya diabadikan Allah SWT
dalam ibadah haji yang merupakan kewajiban seorang Muslim sekali seumur
hidupnya dan diabadikan juga dalam ibadah qurbân bagi yang tidak berhaji.
وَقَالَ إِنِّى ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّى سَيَهْدِيْنِ (۹۹)
99. ”Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku akan pergi menghadap kepada Tuhanku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Saat mengucapkan kalimat tersebut di ayat 99, nabi Ibrahim a.s. yang mendapat gelar khalîlullâh
(kekasih Allah) memiliki masalah berkaitan dengan banyaknya kendala dan
gangguan yang dirasakannya saat berdakwah kepada umatnya. Bukan hanya
saat berdakwah saja kendala dan gangguan itu muncul, demikian juga saat
beribadah sehari-hari. Kelaliman Namrudz dan sebagian rakyatnya membuat
suasana tidak nyaman. Terakhir kali nabi Ibrahim a.s. telah diselamatkan
Allah SWT dari upaya pembakaran hidup-hidup terhadap dirinya.[2]
Oleh sebab itu Ibrahim memutuskan untuk berhijrah ke suatu negeri untuk
dapat berdakwah dan menyembah Allah SWT dengan lebih leluasa. Menurut
al-Biqa’i, nabi Ibrahim a.s. bahkan diyakini sebagai manusia pertama
yang berhijrah di muka bumi ini.[3]
Tentang kemana Nabi Ibrahim pergi dan sebelum pergi ia berada di mana,
tidak ada sedikitpun penjelasan ataupun isyarat yang disebutkan oleh
al-Qur’an.[4]
Karenanya akan lebih baik jika siapapun yang membaca ayat ini lebih
menyelaminya untuk mengambil dan mempraktikkan nilai-nilai apa yang ada
di dalamnya.
Dengan keyakinan penuh bahwa Allah SWT
pasti akan memberinya petunjuk, maka berangkatlah Ibrahim berhijrah
menuju Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa hidayah itu perlu dicari dan
disongsong. Tanpa adanya kemauan keras untuk mengupayakan petunjuk itu,
maka seseorang seperti menanti suatu ketidakpastian belaka. Seperti
banyak orang yang telah mengerti akan wajibnya shalat, puasa, zakat, dan
haji. Namun karena pengetahuan itu tidak ditindaklanjuti dengan
melakukannya dengan sepenuh hati maka jangan berharap bahwa Allah SWT
akan menggerakkannya melakukan semua itu tanpa kesadaran dirinya.
Hijrah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim
a.s., jauh setelah itu juga dilakukan oleh anak keturunannya, Nabi
Muhammad s.a.w. saat memutuskan berhijrah dari Makkah ke Madinah atas
perintah Allah SWT karena di Makkah beliau mendapatkan banyak sekali
kendala yang menghambat pertumbuhan dakwah Islamiah.
رَبِّ هَبْ لِى مِنَ الصَّالِحِيْنَ (۱۰۰)
100. ”Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Selanjutnya, untuk
kepentingan dakwah, diperlukan generasi penerus yang akan
menggantikannya. Adapun Ibrahim yang sudah sekian lama tidak mendapatkan
keturunan, dengan segenap hati dan kerendahan diri memohon kepada Allah
SWT kiranya dikaruniai keturunan yang shalih. Mengapa keturunan yang
shalih? Karena hanya keturunan yang shalih sajalah yang akan dapat
melanjutkan cita-cita orang tua mereka dalam berdakwah menyebarkan
ajaran agama Allah SWT. Karena hanya anak shalih sajalah yang mampu
merekam dengan baik kebaikan dan segala jasa kedua orang tuanya untuk
kemudian mendoakan mereka dan melanjukan hal-hal baik yang pernah mereka
lakukan.
Nabi Ibrahim, karena kedekatannya dengan Allah SWT memohon kepadanya dengan lirih dan tanpa memakai yâ’ al-nidâ’
yang berfungsi sebagai penyeru. Dan demikianlah ajaran Islam. Karena
faktor kedekatan itulah maka dalam banyak doa, kalimat yang berfungsi
sebagai panggilan yang sering diterjemahkan dengan ”Ya” atau ”wahai”
tidak digunakan karena akan dapat disalahpahami bahwa Allah SWT
tampaknya jauh. Dan memang hal itu tidak dibutuhkan sehingga tidak perlu
juga dalam terjemahan makna ayat itu ditambahkan kata ”Ya” atau ”wahai” karena justru tidak akan selaras dengan maksud Allah SWT berfirman dengan uslûb[5] yang seperti itu.
فَبَشِّرْناَهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ (۱۰۱)
101. ”Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.”
Doa nabi Ibarahim a.s.
dikabulkan Allah SWT. Maka dikaruniakanlah kepadanya seorang anak yang
penyantun lagi sabar yang kelak akan menjadi bahan perdebatan di
kalangan umat beragama. Dari kalangan umat Nasrani meyakini bahwa anak
yang dimaksud adalah nabi Ishaq a.s. Sedangkan kalangan Muslimin
meyakini bahwa anak yang dimaksud adalah nabi Isma’il a.s. Tentang
perselisihan pendapat ini akan penulis jelaskan kemudian dengan mengutip
beberapa pendapat dari para mufassir yang masyhur.
Nabi Ibrahim a.s. adalah sosok yang oleh Allah SWT juga disebut halîm.[6] Putera yang menjadi kabar gembira baginya juga disebut halîm. Makna kata yang terdiri dari huruf hâ’, lâm dan mîm bisa berarti tidak tergesa-gesa dan bisa juga berarti mimpi. Imam al-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an memaknai kata itu dengan ضبط النفس والطبع عن هيجان الغضب (kekuatan dan karakter diri dalam menahan kobaran amarah).[7] Jadi makna kata halîm di ayat tersebut berarti seseorang yang memiliki kekuatan dan karakter menahan diri dari amarah,[8] yang selanjutnya dimaknai sebagai penyantun atau penyabar.[9]
Seseorang, menurut al-Biqa’i, akan menjadi halim bila berpijak kepada
ilmu—yang karuniakan Allah dan diupayakan oleh diri dan oleh walinya.
Tanpa ilmu, seseorang tidak akan mampu mencapai al-hilm. Selanjutnya kedalaman ilmu seseorang itulah yang akan menjadi sebab adanya al-hilm dalam diri seseorang.[10]
Terkait ayat tersebut di atas, ada pendapat menarik dari Ibn Su’ud
sebagaima dikutip oleh Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitab tafsirnya Shahwah al-Tafasir. Allah SWT, menurut Ibn Su’ud, mengumpulkan tiga kegembiraan sekaligus bagi nabi Ibrahim dengan adanya berita tersebut. Pertama, bahwa anak yang akan dikaruniakan kepadanya adalah berjenis laki-laki. Kedua, bahwa anak tersebut akan hidup sehingga remaja. Ketiga, bahwa anak yang akan dikaruniakan itu akan menjadi seorang yang halîm.[11]
Anak yang halîm yang dimaksud Allah SWT di ayat itu, menurut keterangan Abu al-Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-’Azhim adalah Isma’il a.s. Ibn Katsir mengedepankan beberapa argumentasi. Pertama, Ismail adalah anak pertama yang dilahirkan dan menjadi kabar gembira bagi Ibrahim. Kedua,
Ismail juga lebih tua dari Ishaq. Ismail lahir ketika nabi Ibrahim
berusia delapan puluh enam tahun sedangkan Ishaq lahir saat usia nabi
Ibrahim sembilan puluh sembilan tahun.[12]
Jumhur ulama juga mengemukakan hal serupa, bahwa anak yang menjadi
kabar gembira tersebut adalah Isma’il a.s. dengan argumentasi sedudah
sempurna kisah penyembelihan barulah Allah SWT memberi kabar gembira
kedua dengan seorang anak bernama Ishaq yang akan menjadi nabi dari
orang-orang yang shalih.[13]
Kabar gembira kedua itu tertuang dalam surat al-Shaffat ayat 112.
Menurut Ibn Katsir, bahwa nabi Isma’il lebih tua dari nabi Ishaq pun
sesungguhnya telah menjadi kesepakatan para Ahli Kitab yang masih
menjunjung tinggi kejujuran. Namun dalam kenyataannya para ahli kitab
dari kalangan Nasrani membelokkan kebenaran yang terdapat dalam kitab
suci mereka, yang menurut Ibn Katsir karena perasaan dengki terhadap
nabi Muhammad s.a.w. yang nota-bene berbapak moyang kepada nabi Isma’il.
Karena perasaan dengki itu mereka mengedepankan ketokohan nabi Ishaq
yang adalah bapak moyang mereka dalam peristiwa penyembelihan tersebut,
bukan nabi Isma’il. Jika ada sebagian ulama Muslim yang juga
berpandangan serupa, menurut pengarang kitab yang terkenal dengan judul Tafsir Ibn Katsir ini,
adalah tidak mendasarkan diri kepada kitab al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah s.a.w. Mereka justeru lebih senang mendasarkan diri kepada
periwayatan yang bermuara kepada keterangan para rahib-rahib (pendeta)
dari kalangan Ahli Kitab, padahal al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan
petunjuk yang benar bahwa yang di-qurbankan itu adalah nabi Isma’il a.s.[14]
Kehadiran seorang anak adalah anugerah
yang amat besar yang patut disyukuri. Oleh sebab itu istilah yang Allah
SWT pakai adalah pemberian kabar gembira (fa bassyyarnâhu).
Apalagi untuk nabi Ibrahim a.s. yang telah sekian lama menantikan
hadirnya keturunan yang akan meneruskan misi Allah SWT di muka bumi ini
dalam tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Dan lagi, nabi Ibrahim a.s.
telah berdoa siang dan malam dengan segenap hati dan perasaan serta
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan permohonan
mendapatkan keturunan yang shalih seperti tersebut di ayat 100 di atas.
Menambahkan sedikit penjelasan kalimat fa bassyyarnâhu. Kata bassyara (fi’l mâdhi, kata kerja bentuk lampau) terambil dari al-basyarah
yang berarti kulit luar atau kulit ari. Menurut Abdurrahman
al-Tsa’alabi, seseorang jika diberi informasi baik berupa kabar baik
ataupun buruk biasanya akan tampak pengaruhnya di kulit luar wajahnya.
Kebanyakan penggunaan kata bisyârah adalah untuk kabar yang
baik. Namun terkadang juga digunakan untuk kabar buruk, hal mana dapat
diklarifikasi dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 21.[15] Demikian penjelasan Abdurrahman al-Tasa’alabi dalam kitab tafsir Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an.[16]
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ اْلسَعْىَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّى أَرَى فِى اْلمَنَامِ أَنِّى أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَاتُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ (۱۰۲)
102. ”Maka tatkala anak itu sampai
(pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku sedang
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Wahai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Allah SWT ingin menegaskan bahwa segala
karunia berupa kenikmatan adalah milik Allah SWT semata. Adapun manusia
hanya dititipi sebagian dari karunia itu supaya mereka mau membesarkan
Allah dengan taat dan bersyukur kepada-Nya. Jika seseorang telah
dipinjami sesuatu oleh orang lain dan orang itu ingin mengambil kembali
barang yang dipinjamkan, sungguh tidak etis jika dia menahan dan tidak
mau mengembalikan barang pinjaman itu. Seharusnya ia mengucapkan
terimakasih atas segala kebaikan atas peminjaman tersebut. Begitu
logikanya.
Demikian juga Isma’il yang bagi nabi
Ibrahim adalah merupakan titipan Allah SWT. Selanjutnya Allah SWT
berkenan menguji nabi Ibrahim dengan meminta Isma’il untuk
dipersembahkan kepada-Nya ketika ia telah dewasa[17]
dengan perintah untuk menyembelihnya, sesuatu yang oleh hawa nafsu
manusia dianggap amat sangat ekstrem. Tentu berbeda jika Allah SWT
mengujinya dengan kematian Ismail secara wajar, dan bukan perintah untuk
menyembelihnya. Apalagi perintah Allah SWT bagi Ibrahim tersebut adalah
melalui mimpi.[18]
Adapun mimpi bagi seorang nabi adalah juga bernilai wahyu. Muhammad
Ka’ab menyatakan bahwa para Rasul Allah SWT itu didatangi wahyu Allah
SWT dalam kondisi terjaga maupun tertidur karena para nabi itu hanya
tertidur matanya dan tidak tertidur hatinya.[19]
Meskipun mimpi itu bagi seorang nabi adalah wahyu namun akan lebih
mudah jika perintah itu disampaikan Allah SWT dalam keadaan terjaga.
Apalagi perintah ini terkait dengan penyembelihan terhadap putera
kesayangan yang telah dinanti-nantikan sekian lamanya.
Nabi Ibrahim a.s., dengan perintah yang
demikian itu, ia tetap patuh dan selanjutnya mengkomunikasikannya dengan
Ismail yang hal itu sekaligus menjadi ujian bagi Ismail juga. Ibrahim
yakin siapa adanya puteranya, Isma’il. Namun beliau ingin mengetahui dan
mendengar langsung bagaimana jawaban Isma’il yang hal itu akan menjadi
satu persaksian yang akan dipersaksikan di hadapan Allah SWT dan para
Malaikat-Nya. “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku sedang menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Dan seperti yang nabi Ibrahim duga bahwa akhirnya nabi Isma’il yang
selama ini mendapat pendidikan dan pengawasan yang baik darinya
menjawab, “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar.” Jawaban ini sungguh mencengangkan meskipun telah
diprediksi oleh nabi Ibrahim a.s. Betapa tidak, Ismail tidak menjawabnya
dengan kalimat, ”Sembelihlah diriku!” namun menjawabnya dengan ”kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu!”.
Artinya Isma’il ingin menyampaikan hal lain di balik kalimatnya itu
bahwa perintah apa pun yang diperintahkan Allah SWT kepada ayahnya
terhadap dirinya hendaknya dilaksanakan sebaik-baiknya, baik berupa
penyembelihan terhadap dirinya atau bahkan yang lebih dari itu kalau ada
maka Isma’il akan terima dengan ikhlas dan penuh kesabaran dalam
menjalankan perintah Allah SWT. Karena itulah maka Isma’il memungkasi
kesediannya dengan kerendahan hati memohon ridha Allah dan restu ayahnya
serta menguatkan tekad kiranya apa yang dilakukannya benar-benar tulus
di hadapan Allah SWT, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Terkait dengan hal itu Al-Shabuni mengemukakan satu pertanyaan,
”Adakah remaja yang telah sampai usia baligh dapat menyamai kesantunan
dan kesabaran Isma’il yang ketika soal penyembelihan itu dikemukakan
oleh bapaknya lalu ia menjawab, “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar?”[20]
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنَ (۱۰۳)
103. ”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya)”,
Bagi orang yang beriman, betapapun berat perintah yang diberikan kepada mereka, mereka meyakini adanya kebaikan (hikmah)
di balik perintah tersebut bagi yang menjalankannya. Apa yang
diperintahkan Allah SWT pasti berujung pada kebaikan, dunia dan akhirat.
Demikian halnya, sesuatu yang dilarang pasti karena adanya kemadharatan
di dalamnya bagi manusia, di dunia dan akhirat. Demikian halnya nabi
Ibrahim dan Ismail yang memahami dengan baik hikmah tersebut selanjutnya
berserah diri kepada Allah SWT dalam menjalankan perintah-Nya, termasuk
perintah untuk menyembelih putera tercintanya sendiri.
Selanjutnya nabi Ibrahim
meletakkan Isma’il dalam keadaan berbaring dengan memiringkan tubuhnya
dan meletakkan pelipisnya dengan penuh keyakinan pada satu tempat yang
mantap dan keras agar tidak bergerak sehingga memudahkan proses
penyembelihan. Hal demikian dilakukan karena melandaskan diri kepada
sikap ihsan.
Dan selanjutnya, demikianlah tuntunan memperlakukan binatang sembelihan
di dalam Islam. Binatang dihadapkan ke kiblat. Lalu dibaringkan ke
sebelah rusuknya yang kiri sekira tidak memungkinkannya bergerak dan
supaya memudahkan bagi yang menyembelihnya. Untuk kemudian disembelih
dengan menggunakan pisau atau alat penyembelih yang tajam sehingga
mempercepat kematian dan menghindarkannya dari ketersiksaan setelah
sebelumnya menyebut nama Allah SWT, membaca shalawat atas nabi Muhammad
s.a.w., membaca takbir, membaca doa diterimanya qurban, dan dengan
memotong dua urat yang ada di kiri kanan leher agar lekas mati. Adapun
binatang yang panjang lehernya, sunat disembelih di pangkal lehernya.
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيْمُ (۱۰۴) قَدْ صََدَّقْتَ الرُّءْيَا إِنَّاكَذَالِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ (۱۰۵)
104. ”Dan kami panggil dia: “Wahai Ibrahim!” 105. ”Sesungguhnya
engkau telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Dengan perintahnya tersebut Allah SWT
ternyata hanya ingin mengetahui ketaatan dan kesungguhan nabi Ibrahim
dalam menjalankan perintah-Nya. Setelah nabi Ibrahim membenarkan mimpi
itu[21]
dan benar-benar ikhlas menerima keputusan Allah SWT itu maka Allah SWT
berkenan memanggil nabi Ibrahim dan menjelaskan beberapa hal penting. Di
antara hal penting itu adalah tentang balasan-balasan yang baik bagi
mereka yang selalu berbuat baik dan mengupayakannya semaksimal yang ia
bisa meskipun berat dirasa.
Berdasarkan pengertian dari ayat
tersebut maka dapat diambil satu pengertian lain bahwa balasan Allah SWT
itu pada prinsipnya diberikan kepada hamba setelah hamba tersebut diuji
Allah SWT dan lulus melewati ujian tersebut. Dengan ujian tersebut
Allah SWT akan mengetahui mana saja hamba-hamba-Nya yang benar imannya
dan hamba-hambanya yang tidak benar (dusta) keimanannya.[22]
Hamba-hamba Allah SWT yang memahami arti ujian dalam hidup mereka akan
selalu berupaya mendapat hasil yang baik dari ujian tersebut dengan
menyelesaikan ujian tersebut sebaik-baiknya. Hanya mereka yang lulus
dari ujian Allah SWT sajalah yang berhak mendapat sebutan al-muhsinîn sesuai dengan firman-Nya di atas, ”Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
إِنَّ هَذَا لَهُوَ اْلبَلاَؤُا اْلمُبِيْنَ (۱۰۶)
106. ”Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”.
Menegaskan penjelasan
sebelumnya terkait dengan adanya ujian Allah SWT bagi hamba-Nya, nabi
Ibrahim a.s. dan puteranya Isma’il, Allah SWT menegaskannya di ayat 106
ini. Allah SWT sendiri menyebutkan bahwa perintah yang diberikan-Nya
kepada nabi Ibrahim dan Isma’il merupakan ujian yang nyata dan sekaligus
sangat luar biasa berat.
Betapa tidak, Nabi Ibrahim a.s. telah
berdoa siang dan malam berharap kepada Allah SWT kiranya dikaruniai
keturunan dan menantikan kehadiran sang buah hati dalam masa yang tidak
sebentar yang menurut sebagian sumber yang dikutip, penantian itu
berlangsung selama tiga belas tahun.[23]
Dan setelah karunia itu terwujud dan cukup menjadi sumber kesenangan
dan kebanggaan hati nabi Ibrahim sehingga dia tumbuh dewasa, ternyata
diminta kembali oleh Allah SWT dan itupun harus dengan jalan sembelih
oleh tangan nabi Ibrahim sendiri. Bukan dengan kematian yang wajar
dimana Allah SWT mencabut nyawanya, bukan melalui tangan ayahandanya
sendiri. Namun nabi Ibrahim a.s. dan Isma’il sebagaimana disebutkan tadi
telah menerima ujian yang berat tersebut dengan penuh keridhaan
menjalankan perintah tersebut sebagai bukti bahwa kecintaan mereka
berdua kepada Allah SWT adalah mengalahkan kecintaan kepada yang
lainnya. Karena mereka telah menerima ujian tersebut dengan penuh
keridhaan maka Allah SWT berkenan untuk menggantikannya dengan
kenikmatan yang tiada tara.
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ (۱۰۷)
107. ”Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.
Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan
nabi Ibrahim dan Ismail a.s. maka Allah SWT melarang nabi Ibrahim
menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban. Allah SWT menggantinya
dengan seekor sembelihan (kambing) yang gemuk. Peristiwa Inilah yang
selanjutnya menjadi dasar disyariatkannya ibadah qurbân[24] yang dilakukan pada hari raya haji dan tiga hari sesudahnya (ayyâm al-tasyrîq).
Dan peristiwa itu sekaligus menunjukkan sikap Islam yang menolak dengan
tegas atas dikorbankannya manusia oleh sebagian bangsa ataupun
masyarakat tertentu yang pernah ada dan tetap ada saat itu karena
manusia tidak boleh dikorbankan sebagai persembahan.
Masih berpegangan kepada nash
ayat tersebut di atas, bahwa hewan yang dijadikan qurban yang disembelih
sebagai rasa syukur itu pun haruslah binatang yang sehat dan tidak
memiliki cacat fisik dan penyakit. Dan al-Qur’an cukup menyebutnya
dengan sebutan ذبح عظيم (sembelihan yang besar) karena penjelasannya
akan dijelaskan oleh Nabi Muhammad s.a.w. dengan sunnah qauliyyah (perkataan) maupun sunnah fi’liyyah (perbuatan)-nya
dalam melaksanakan ibadah qurban tersebut. Hewan yang matanya rusak,
sakit, pincang dan kurus yang tidak bergajih lagi, maka tidak sah
dijadikan korban.[25] Sedangkan untuk usia hewan itu Nabi Muhammad s.a.w. menjelaskan yaitu yang telah berganti gigi atau disebut musinnah. Atau kalau tidak maka yang baru berumur 1 tahun lebih atau biasa disebut jaz’ah.[26]
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى اْلآخِرِيْنَ (۱۰۸)
108. ”Dan Kami tinggalkan (abadikan) untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian”.
Ibadah qurban itu sendiri,
oleh umat nabi Muhammad s.a.w., dilakukan pada tanggal 10 dzulhijjah dan
hari ke sebelas hingga ke tiga belas yang disebut dengan hari-hari
Tasyriq (ayyâm al-tasyrîq).[27]
Jadi apa yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan kaum Muslimin pada
dasarnya adalah napak tilas terhadap peristiwa-peristiwa terkait dengan
nabi Ibrahim a.s. dan Isma’il a.s. seperti tersebut dalam penjelasan
terdahulu itu. Sebuah peristiwa yang melambangkan keimanan, kecintaan
ketundukan, kepatuhan, dan kesabaran yang luar biasa dari hamba-hamba
Allah SWT terhadap Tuhannya. Karenanya ia berhak mendapatkan pujian
Allah SWT berupa salam kesejahteraan.
سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ (۱۰۹)
109. (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.
Nama nabi Ibrahim a.s.,
hingga saat ini, bahkan tetap terpatri di atas lisan kaum Muslimin di
mana pun mereka berada. Dalam sehari, paling tidak lima kali nama beliau
disebut dalam shalawat di shalat fardhu lima waktu. Bahkan shalawat itu
berikutnya diabadikan dalam nama yang indah, shalawât Ibrâhimiyyah. Barangkali, di samping agama-agama yang mengklaim diri sebagai millah
Ibrahim, hanya Islamlah satu-satunya agama yang tetap mengenang beliau
khalîlullâh a.s. dalam shalat dan haji yang dilakukan oleh kaum
Muslimin.
كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ (۱۱۰)
110. ”Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Selalu ada balasan (al-jazâ’)
yang baik bagi orang yang melakukan kebaikan karena mencari keridhaan
Allah SWT. Ada banyak balasan melimpah bagi orang-orang yang tidak hanya
sekedar mengharapkan balasan di dunia. Karena sesungguhnya lebih dari
itu ada tujuan akhir yang lebih mulia yang seharusnya diupayakan untuk
didapatkan, yaitu keridhaan Allah SWT. Jika keridhaan Allah SWT adalah
tujuan akhir yang ingin didapatkan oleh hamba-hamba Allah SWT maka
segala sesuatu tidak akan mampu menghalangi niat itu. Demikian pula
tidak ada yang mampu menghalangi orang-orang yang baik (al-muhsinîn)
tersebut mendapatkan balasan yang baik dari Allah SWT karena mereka
benar-benar yakin dan percaya akan adanya Allah SWT berikut
janji-janji-Nya.
إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا اْلمُؤْمِنِيْنَ (۱۱۱)
111. ”Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”.
Nabi Ibrahim a.s. adalah
sosok yang beriman dan membenarkan setiap apa yang Allah SWT beritakan
kepadanya. Keimanan itu telah melewati ujian yang cukup berat. Allah SWT
telah mengujinya dengan meminta puteranya tercinta untuk disembelih
sebagai persembahan kepada-Nya. Dan atas persetujuan puteranya, nabi
Ibrahim a.s. telah mengikhlaskan diri untuk melakukan apa yang Allah SWT
tetapkan bagi diri dan puteranya. Karena itulah Allah SWT memujinya
sebagai hamba-Nya yang benar-benar beriman kepada-Nya dan akan terus
berada di kelompok hamba-hamba-Nya yang beriman dengan benar.
Terkait pemakaian kata ’ibâd
seperti tersebut di atas telah pernah penulis jelaskan ketika
menjelaskan ayat 186 surat al-Baqarah. Bukan tanpa alasan jika Allah SWT
memilih untuk memakai kata ’ibâd yang merupakan bentuk jamak dari kata ’abdun yang berarti hamba. Dalam bahasa Arab, kata ’abdun memiliki dua jamak taksîr[28]: ’ibâd dan ’abîd. Menurut bahasa Arab, kata ’ibâd digunakan untuk menunjukkan hamba-hamba yang selalu berusaha menetapi ketaatan dan kebaikan. Sedangkan kata ’abîd,
biasa digunakan untuk menunjukkan hamba-hamba yang tidak memiliki
keinginan untuk taat kepada Allah SWT dengan motif pembangkangan.
Untuk umat nabi Muhammad
s.a.w., Allah SWT tidak meminta mereka untuk menyembelih putera-puteri
mereka untuk dipersembahkan kepada-Nya seperti halnya nabi Ibrahim as.
Allah SWT hanya meminta mereka yang mampu menyembelih seekor kambing
setahun sekali sebagai bukti dan ungkapan kecintaan mereka kepada Allah
SWT dan kepedulian terhadap sesama. Atau apakah kambing yang seekor itu
barangkali dianggap lebih berharga dibandingkan banyaknya kenikmatan
yang mereka milki selama ini yang nota-bene asalnya adalah dari Allah
SWT juga? Wallâhu a’lam bi al-shawwâb [ ]
MARÂJI’:
Al-Arabi, Abu Bakar Ibn. 2003. Ahkam al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Ashfahani, Al-Raghib. 2004. Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Baidhawi, Nashiruddin. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Biqa’i, Imam. 2005. Tafsir Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayati wa al-Suwar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Harari, Muhammad al-Amin. 2010. Tafsir Hada’iq al-Rauh wa al-Raihan fi Rawaby ‘Ulum al-Qur’an. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon
Al-Jasshash, Abu Bakar Ahmad. 2003. Tafsir Ahkam al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Jawi, Muhammad ibn Umar Nawawi. 2003. Tafsir Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Nasafi, Abdullah. 2001. Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Nisaburi, Imam al-Qusyairi. 2000. Tafsîr Lathâ’if al-Isyârât. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Sa’di, Abdurrahman ibn Nashir. 2003. Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Dar Ibn Hazm: Beirut, Lebanon
Al-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta
———. 2001. Rawa’I’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta
Al-Syanqithy, Muhammad al-Amin. 2003. Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Syaukani, Muhammad. 2003. Tafsir Fath al-Qadhir. Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Tsa’alabi, Abdurrahman. 1996. Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Utsaimin, Muhammad ibn Shalih. 2010. Al-Kanz al-Tatsmin fi Tafsir Ibn Utsaimin. Kitab Nasyirun: Beirut, Lebanon
Al-Wahidi, Abu al-Hasan Ali. 2004. Asbab Nuzul al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Zamakhsyari, Mahmud ibn Umar ibn Muhammad. 2006. Tafsir al-Kassyaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Katsir, Abu al-Fida’ al-Hafizh Ibn. 1997. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon
Ridha, Muhammad Rasyid. 2005. Tafsir al-Manar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Lentera Hati: Jakarta
Thabathaba’I, Muhammad Husein al-. 1997. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at: Beirut, Lebanon
[1]Dosen FIAI Jurusan Tarbiyah Universitas Islam Indonesia
[2]Lihat Q.S. al-Shaffat [37]: 97 dan Q.S. al-Anbiya’ [21]: 68, 69
[3]Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i. 2006. Tafsir Nazhm al-Dhurar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 6, h. 325
[4]Ada
yang meyakini bahwa Nabi Ibrahim a.s. saat itu berada di Ur, negeri
Kaldania dan berhijrah ke Harân, negeri orang Kan’an dan lalu berhijrah
lagi menuju Bait al-Maqdis. Ada juga yang meyakini bahwa Nabi Ibrahim
hijrah dari Ur dan langsung ke Bait al-Maqdis.
[5]Masalah tentang apa yang dimaksud dengan ushlûb ini telah penulis jelaskan di Tafsir Surat al-Baqarah, dipersilakan merujuk kembali ke sana
[6]Lihat Q.S. Hud [11]: 75
[7]Al-Raghib al-Ashfahani. 2004. Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 145
[8]Al-Raghib al-Ashfahani. 2004. Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 145
[9]M. Quraish Shihab. 2005. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Vol. 12. Lentera Hati: Jakarta, h. 60-62
[10]Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i. 2006. Tafsir Nazhm al-Dhurar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 6, h. 326
[11]Lihat Muhammad Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia, jilid 3, h. 39
[12]Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 4, h. 15
[13]Muhammad Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia, jilid 3, h. 39
[14] Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 4, h. 15
[15]Lihat Q.S. Ali Imran [3]: 21
إِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِئَايَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيِّيْنَ بِغَيِْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُوْنَ الَّذِيْنَ يَأْمُرُوْنَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَاسٍ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ (۲۱)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih”.
[16]Abdurrahman al-Tsa’alabi. 1996. Tafsir al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 1, h. 55
[17]Sebagian mufassir menyatakan usia Ismail ketika itu adalah 13 tahun. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia, jilid 3, h. 40. Kata al-sa’ya
di ayat tersebut adalah bermakna telah besar dimana seseorang telah
mampu pergi dan berjalan kaki bersama ayahnya. Lihat Abu al-Fida’
al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 4, h. 16
[18]Abu al-Fida’ al-Hafizh ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, h. 16. Lihat juga Mahmud ibn Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari. 2006. Tafsir al-Kassyaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, Jilid 4, h. 51. Imam
al-Zamakhsyari menyatakan mimpi para nabi adalah wahyu seperti wahyu
saat terjaga (wa ru’ya al-anbiyâ’ wahyun ka al-wahyi fi al-yaqzhah)
[19]Lihat Muhammad Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia, jilid 3, h. 40
[20]Muhammad Ali al-Shabuni. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta, Indonesia, jilid 3, h. 38
[21]Yang dimaksud dengan membenarkan mimpi ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah SWT dan wajib melaksanakannya.
[22]Lihat Q.S. al-‘Ankabut [29]: 2,3
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ (۲) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ اْلكَاذِبِيْنَ (۳)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
[23]Lihat M. Quraish Shihab. 2005. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Lentera: Jakarta, vol. 12, h. 65
[24]Kata qurbân adalah bahasa Arab yang berarti pendekatan yang sempurna, berasal dari wazan (timbangan) fu’lân yang
juga mengandung makna keluasan sesuatu. Dalam konteks ini adalah
pendekatan kepada Allah SWT yang dilakukan dengan melakukan amal-amal
shalih
[25]Hadits Riwayat Ahmad dan ditashih oleh al-Tirmidzi, bersumber dari al-Barra’ ibn ‘Azib
[26]Hadits Riwayat Muslim, bersumber dari Jabir. Lihat Kitab Hadits Shahih Muslim di Bab Udhhiyyah
[27] (كل أيام التشريق ذَبح (رواه أحمد
[28] Bentuk jama’ (plural) yang tidak beraturan karena ketiadaan aturan baku dalam proses penyusunannya
Sumber: http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/02/21/tafsir-surat-al-shaffat-ayat-99-11/
Sumber: http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/02/21/tafsir-surat-al-shaffat-ayat-99-11/
No comments:
Post a Comment